Cerita Pendek
Bintang
Karya Nabila Putri Hendrawan
Gerimis
membungkus perkampungan. Sejauh mata memandang terlihat tetes air di ujung
genteng, dedaunan, juga halaman. Tidak lebat, tidak sampai menghalangi para
petani kebun yang berbondong-bondong membawa cangkul dan pisau besar menuju
Kebon Singa di kampung sebelah. Di belakang mereka terlihat segerombolan bocah
ingusan yang membawa keranjang. Mereka terlihat senang sekali. Mereka tertawa,
berlarian, berteriak, tertawa, lantas berlarian lagi. Lebih dari dua kali salah
satu dari mereka terpeleset jalan yang licin. Dasar bodoh, batinku. Aku menyunggingkan senyum, asyik menonton
para tetangga yang lewat depan rumah.
Aku
menguap, menggaruk rambut. Aku selalu suka hujan, itu selalu spesial, karena
pada saat hujan, hawa menjadi lebih dingin, tanah tidak menjadi kering, dan
tanaman dapat tumbuh subur, khusunya padi. Apalagi ini hari Minggu, libur sekolah, lebih
spesial lagi. Tapi sejak subuh tadi, hari spesialku telah dicuri oleh Kak
Lintang. Ia membangunkanku, mengambil kemul dengan paksa.
“Bangun,
Bintang!”
Aduh, ini kan hari libur, apa pentingnya
bagun pagi-pagi, protesku dalam hati. Suara
gerimis, suasana dingin, lebih baik meringkuk di bawah kemul.
“Bangun,
Pemalas!”
Kali ini
Kak Lintang mencolek rambutku. Aku menyambar bantal. Menutup kepala. Membuat
benteng pertahanan.
Kak
Lintang tertawa, lantas dengan segaja ia berteriak dari pintu kamar.
“Bu,
Bintang tidak mau bangun.”
Lalu
segera terdengar suara nyaring Ibu dari dapur, ”Bagunkan saja adik-adik mu
Lintang, hari ini Ibu dan Bapak akan sibuk membantu Mang Ilyas menebar bibit
padi. Segera bangunkan mereka, nanti tidak keburu waktunya.”
Aku bisa
melihat Kak Lintang menyeringai licik. Ugh, itu pertanda yang tidak baik.
”Sudah
Bu, tapi mereka susah sekali dibangunkan. Lihat Bintang, ia masih saja
meringkuk di kasur, padahal sudah terbit fajar sejak tadi.”
Aku bisa
mendengar hentakan kaki ibu mendekat. Segera aku bangun dan bergegas keluar
kamar.
“Bintang,
Pukat, Bangun!”. Langkah Ibu terhenti di ruang tamu. Di sana ada Kak Pukat yang
terlelap di kursi. Mata Ibu melotot ke arah Kak Pukat.
“Ayam
sudah berkokok sejak tadi dan kau masih saja mengantuk, hah, sana bergegas
ambil wudhu, shalat shubuh, lekas itu bantu Bapak menyiapkan karung-karung
bibit padi dan peralatan. Nanti akan ada tetangga yang mengambilnya. Kau juga
Bintang, lekas shalat lalu bantu kakakmu menyiapkan bekal.”
Aku dan Kak Pukat mengangguk lemah dan bergegas ke
kamar mandi. Di sinilah letak permasalahan yang paling menyebalkan. Yaitu
masalah tentang “Siapa yang akan masuk duluan”. Kak Pukat menatap tajam ke
arahku, mengirim pesan bahwa dialah yang akan masuk duluan ke kamar mandi.
“Tidak
bisa begitu, Kak. Bintang duluan yang sampai ke sini. Jadi Bintang duluan yang
masuk.” Balasku terhadap tatapan Kak Pukat.
“Walaupun
begitu, kau anak bungsu di sini, jadi kaulah yang terakhir masuk,” Kak Pukat
menyeringai .
“Apa
hubungannya, kan siapa cepat sampai dia yang masuk duluan.” Balasku tak mau
kalah.
“Tidak
bisa, kau anak bungsu jadi kau yang terakhir. Sudah mengalah saja, hampir lewat
jam shubuh ini.”
“Tidak
mau, Bintang yang duluan masuk baru Kak Pukat.” Aku tidak mau mengalah.
“Kalau
begitu Kakak yang masuk duluan ya,” Katanya sambil melangkah masuk ke dalam
kamar mandi. Dengan sigap aku menarik kaosnya. “Kak Pukat, antri dong,”
Ia
menatapku, “Kau yang seharusnya mengantri, kan aku duluan yang masuk.” Ia
menyeringai lebar. Ekspresinya sangat menyebalkan. Tiba-tiba terdengar suara
Ibu mendekat. Kami segera menyelesaikan adu mulut kami, bergegas berwudhu.
Menebar
bibit padi di ladang adalah hal yang menyenangkan. Khusunya saat menyusuri
sawah-sawah. Pemandangannya indah sekali. Terlihat barisan bukit-bukit hijau
yang tertutup kabut pagi. Gubuk peristirahatan petani, orang-orangan sawah.
Terlebih lagi suasana pagi yang sejuk.
Nikmatnya perjalanan ke ladang. Tidak hanya itu, sampai disana terdapat lahan
kosong yang sangat luas dengan pohon-pohon yang rindang di tepinya. Aku pernah
ke sana sekali bersama Bapak waktu mau melihat perkembangan padi. Walau aku
bilang itu menyenangkan, sekarang tidak lagi. Karena ladang tersebut terbilang
jauh dari kampung kami, jadi anak-anak tidak diperbolehkan ikut menebar benih.
Menyebalkan bukan?
Karena
itu, di hari Minggu spesialku ini, aku tidak boleh pergi kemana-mana. Bermain
pun tidak. Jika Ibu dan Bapak pergi, tugasku adalah menjaga rumah bersama Kak
Pukat. Kak Lintang ikut karena ia sudah
SMP. Ingin cepat besar aku jadinya.
“Sudah
selesai shalatnya?” tanya ibu yang heran karena sepertinya aku dan Kak Pukat
baru 3 menit yang lalu mengambil wudhu.
“Sudah,
Bu.” Jawabku.
“Wah,
cepat sekali.” Kak Lintang menoleh padaku, ikut menyahut.
“Siapa
yang cepat? Biasa saja, kok.”
“Ah masa,
lihat tuh, air wudhunya saja belum kering. Wuih ngebut...takbiratul ihram,
langsung salam, selesai.” Kata Kak Lintang dengan nada yang menyebalkan.
Sengaja mencari masalah.
“Memang biasanya begitu, kok.”
“Benar
kata Nek Minar, kalau shalat sendirian tuh, ngebut. Cepat sekali seperti maling
dikejar orang sekampung.”
Aku
melotot. Kak Lintang itu memang selalu menyebalkan. Lagipula yang menjadi imam
shalat kan Kak Pukat, harusnya kalo shalatnya ngebut seperti kereta api, yang salah
Kak Pukat. Aku kan cuma makmum dibelakang, mengikuti gerakan imam. Kalau Bapak
atau Ibu yang jadi imam aku juga ikut saja.
“Sudah,
Lintang, jangan menggoda adikmu terus.” Ibu menengahi.
“Bintang,
kau bantu kakakmu menyiapkan bumbu-bumbu, setelah itu bungkus semua bekalnya
dan letakkan di ruang tamu.” Kata Ibu sambil membetulkan kain tudung kepalanya.
“Dan jangan lupa jaga rumah dengan baik, Pukat, Bintang. Jangan keluyuran
kemana-mana. Lakukan tugas yang sudah ibu berikan.”
Aku
mengangguk. Sebenarnya aku tidak mau membantu Kak Lintang. Ia selalu saja
menggoda dan menyuruh-nyuruh seenaknya. Berasa paling berkuasa hanya karena ia
yang paling tua. Kak Lintang itu berisik. Selalu memarahiku. Ia yang paling
menyebalkan. Bukan hanya Kak Lintang saja, Kak Pukat juga tidak kalah
menyebalkannya. Ia selalu menggodaku, mengajak bertengkar, selalu meledekku.
Pokoknya, mereka berdua itu menyebalkan. Sangat. Dan aku akan berada di rumah ini sendirian
dengan mereka. Tak bisa aku membayangkannya.
***
Baru
beberapa menit yang lalu pasukan penebar benih pergi, punggungnya sudah tidak
terlihat lagi. Aku menghembuskan napas panjang. Sedih rasanya tidak bisa ikut
mereka. Belum genap hembusan napasku berakhir, suara Kak Lintang terdengar
kencang dari dalam.
“PUKAT!
Mau kemana kau, hah, betulkan dulu jaring-jaring ikannya! Jangan kabur!”
“Nanti
saja kak, Pukat mau main ke rumah Kiki dulu.” Kata Kak Pukat sambil memakai
sandal dengan cepat.
“Tidak
boleh, sini kau Pukat!” Teriak Kak Lintang sambil membawa panci bersabun.
Kak Pukat
memang tidak pernah berubah, padahal sudah berkali-kali diamuk Kak Lintang.
Masih saja kabur main tanpa beban. Kak Lintang menoleh padaku yang sedang
melamun duduk di teras rumah.
“Sedang
apa kau Bintang?” Tanya Kak Lintang.
“Berdoa
agar aku cepat besar, agar bisa ikut pergi menebar benih dan tidak diam terus
di rumah.” Jawabku santai.
“Siapa
bilang kau hanya diam saja di rumah? Bukankah Ibu sudah memberikanmu tugas?
Sudah kau pel rumah ini?”
“Belum,
Kak.”
“Kerjakan
sekarang, nanti keburu malas dan lupa.”
“Iya
nanti, Kak”
“Sekarang,
Bintang.” Kata Kak Lintang dengan tegas.
“Tapi,
Kak ̶”
“Tidak
ada alasan, Bintang. Kerjakan sekarang. Lebih cepat lebih baik. Cepat pel
lantainya, jangan lupa disapu dulu, Kakak mau mengerok alat masak yang gosong.
Harus sudah selesai setelah Kakak selesai. Awas, Kau. Jangan coba-coba kabur
seperti Pukat.”
“Iya,
Kak.”
Ugh, Kak
Lintang selalu begitu. Menyuruh seenaknya. Memangnya aku ini babu apa? Dengan
enggan aku melangkah. Namun tiba-tiba aku teringat apa yang terjadi jika aku
tidak mengerjakan tugas yang Ibu berikan dengan baik. Diceramahi semalam suntuk
dan dihukum mengerjakan semua tugas rumah(termasuk tugas Kak Lintang dan Kak
Pukat). Bergegas aku mengambil sapu.
“Sudah
selesai, Bintang?” Tanya Kak Lintang saat aku membuang air pel ke tanah di
halaman belakang rumah. Ia sedang merapikan jemuran.
“Iya
Sudah, Kak.” Jawabku.
“Sekarang
cuci sepatu sekolahmu, mataharinya terik hari ini, bagus untuk jemur-menjemur.”
Sekarang Kak Lintang malah menyuruh-nyuruhku lagi. Tidak lihat aku baru selesai
mengepel apa?
“Nanti
saja, Kak. Bintang lelah baru selesai mengepel rumah.” Tawarku.
“Nanti
keburu hujan, Bintang. Kalau tiba-tiba hujan sepatumu nanti malah tidak kering.
Besok kan mau dipakai.”
Tuh, kan.
Lihat. Dia tidak peduli adiknya lelah atau tidak.
“Baik,
Kak.”
Aku
bergegas mengambil sepatuku dan mencucinya. Memang sih, mataharinya sedang
bagus saat ini. Tapi kan bisa nanti. Tidak akan hujan juga kan?
Aku
melihat sepatu Kak Lintang dan Kak Pukat sudah dijemur dengan bersih. Rajin juga Kak Pukat, pikirku. Segera
aku letakkan sepatuku di sebelah sepatu mereka.
“Sudah
selesai, Bintang?” Tanya Kak Lintang yang sekarang sedang memegang mangkuk di
tangannya. Penuh peluh dahinya. Terlihat lesu wajahnya.
“Sudah
dong, Kak.” Jawabku bangga.
“Bagus,
sekarang mandi dan segera sarapan. Habis itu bantu Kakak mengantarkan makanan
ke rumah Nek Minar.”
“Kenapa
tidak Kak Pukat yang mengantarkannya?
Kan, daritadi Bintang sudah mngerjakan semuanya.”
“Kakak
kau yang satu itu tidak tau kemana, Bintang. Sudahlah, lagipula yang disuruh
Ibu membantu Kakak itu kau, bukan Pukat.”
Aku
terdiam menatap Kak Lintang. Dia terlihat serius. Aku langsung bergegas lari
untuk mandi, sambil menggerutu sebal, Kalau
begitu harusnya aku tadi ikut kabur saja dengan Kak Pukat, kataku dalam hati. Saat masuk ke kamar,
kasurku sudah tertata, sarung kasur juga sudah diganti. Aku membuka lemari
bajuku, semuanya wangi dan rapih. Lantai kamarku juga tidak ngeras seperti tadi
pagi. Pasti Kak Lintang yang merapikannya. Jika ku hitung, berarti Kak Lintang
hampir menyelesaikan semua tugas rumahnya. Padahal, tugas dia lebih banyak dari
tugasku. Eh, tapi tetap saja ia tidak berhak menyuruhku melakukan ini itu.
“Kau
sudah makan?” Tanya Kak Lintang saat melihatku sudah rapih dan sedang membaca
buku.
“Sudah,
Kak.”
“Bagus.
Sekarang segera kau antarkan makanan ini ke Nek Minar. Kakak mau mencari Kakak
kau yang kabur itu. Langsung pulang setelah mengantarkannya. Jangan
kemana-mana.”
Aku tidak
menjawab. Kesal tidak boleh kemana-mana dan disuruh-suruh terus. Segera kuambil
rantangnya dan pergi.
“Loh,
bukannya kau anak si Jiah dan Ridho, si Bungsu, Bintang? Ada apa Nduk?” Tanya
Nek Mirna ketika aku mulai mengetuk pintu rumahnya.
“Iya,
Nek. Bintang mau memberi ini. Dari Ibu.”
“Ya
ampun, terima kasih, Nduk. Baik sekali kamu mau mengantarkannya, biasanya si
Sulung, Lintang.”
“Kakak
lagi mencari Kak Pukat yang kabur, Nek.”
“Oalah,
masih suka mencari masalah ya Kakak mu yang satu itu.”
Aku
menjawab dengan senyum, “Iya tuh, Nek.”
“Mau
masuk dulu? Nenek punya kue kering yang enak, suka kamu pasti.” Tawar Nek
Minar.
“Tidak
usah, Bintang mau langsung pulang, Nek.”
“Yasudah,
salam untuk Kakak kau ya,”
“Assalamualaikum,
Nek”
“Waalaikumsalam.
Hati-hati ya.”
“Iya,
Nek.”
Senang
rasanya melihat wajah Nek Mirna. Wajahnya teduh, damai, merasa tenang hatiku.
Tapi aku teringat tentang Kak Lintang. Jika aku pulang, ia pasti akan
meyuruh-nyuruhku lagi. Tidak mau. Ah, seketika terbesit ide kotor di benakku.
Tersungging
senyum di bibirku. Ku langkahkan kakiku dengan cepat. Angin kencang menerpa
wajahku, mengibaskan rambutku. Aku merasa itu adalah ide terhebat yang pernah
aku pikirkan. Tanpa pikir panjang, aku langsung menyusuri pepohonan rindang
yang besar dan rerumputan yang tinggi. Sinar matahari samar terlihat dari
cabang-cabang pohon. Sunyi sangat suasananya, hanya ada suara kicauan burung
dan jangkrik terdengar jelas. Aku mempercepat langkahku. Suara kicauan itu
terdengar menyeramkan di sini. Aku berhenti sejenak melihat sekelilingku.
Remang. Banyak pohon buah. Ada pisang, kelapa, melinjo, dan buah lainnya yang
aku tidak ketahui. Aku melangkah ke depan menuju ujung jalan ini. Dan kalian
tidak akan percaya apa yang aku lihat.
Tanaman.
Tanaman dimana-mana. Mereka tumbuh subur. Ada yang merekah merah menggoda, ada
yang oranye manis terlihat siap dikupas.
Ini dia
yang daritadi aku pikirkan, Kebon Singa. Bukan disebut begitu sebab di sini ada
singanya, tetapi karena tanaman disini itu lebat seperti rambut singa dan juga ganas-ganas
hamanya. Banyak tanaman impor disini. Jenisnya beragam. Kebon Singa memang terkenal
dengan buah-buahan yang subur dan lebat. Manis pula. Suatu waktu, bapak pernah
membawa buah yang namanya aneh sekali. Buah Naga namanya. Jika dibelah,
dalamnya ada yang warna ungu dan ada yang warnanya putih. Terkadang rasanya
manis sekali, tapi ada yang hambar juga. Oleh karena itu, aku tidak terlalu
menyukainya. Tetapi kata Ibu, Buah Naga membuat kita awet muda, jadi mau tidak
mau aku harus menyukainya kalau tidak mau cepat tua.
Sekarang apa?
kataku
dalam hati. Aku sudah melaksanakan ideku. Main ke Kebon Singa. Berarti aku
harus bermain sekarang. Tapi main apa? Aku kan sendirian di sini.
Aku
memutuskan untuk berjalan-jalan sambil melihat-lihat tanaman. Semilir angin
menyapu rambutku, sejuk suasana di sini. Indah pemandangannya. Damai. Tidak ada
teriakan Kak Lintang. Tidak ada Kak Pukat juga. Tidak ada.
Langit
semakin gelap. Matahari mulai kembali ke peraduannya. Aku memutuskan untuk
pulang. Tidak bagus di sini sampai sore, nanti gelap jalannya, susah pulangnya.
Terukir senyum di bibirku. Aku sudah puas jalan-jalan di sini. Ku balik badanku
menuju jalan pulang.
Namun
ternyata, jalan kembali tidak semudah yang kupikirkan. Jika di kebun tadi masih
terang, di jalan yang melewati hutan ini cahaya terhalangi oleh daun pepohonan
yang menjulang tinggi. Sehingga sulit melihat. Terlebih lagi, karena angin yang
kencang, daun kering jadi tertiup menutupi jalan, sulit melihat jalan karenanya.
Eh, tadi jalannya kemana ya? Kayaknya lewat sini, deh. Saat sibuk berpikir, tiba-tiba ada suara daun
yang bergesekan, aku merasa seperti ada orang yang mengikutiku. Aku terdiam.
Aku berusaha berpikir positif bahwa itu hanya angin yang bertiup. Tetapi, makin
lama suara itu semakin mendekat. Aku pun melangkah dengan cepat. Namun suara
itu tetap mengikutiku. Aku pun berlari. Takut. Di jalan yang dipenuhi oleh
pepohonan besar yang lebat, minim cahaya, suara cicit burung yang menyeramkan,
ditambah dengan makhluk aneh yang
mengikutiku, ini lebih dari menyeramkan. Aku pernah menonton film horor, tapi
itu kalah menyeramkannya dari hal yang kualami ini.
Ketika aku berlari, tiba-tiba kakiku
tersandung akar pohon. Aku jatuh tertelungkup. Saat aku mencoba berdiri,
lututku terasa perih, pergelangan kakiku sakit. Aku terus mencoba untuk berdiri
namun gagal. Rasanya sakit sekali. Jalan terlihat semakin menyeramkan.
Suara-suara aneh mulai terdengar. Aku takut. Aku mencoba untuk tetap kuat.
Berdoa supaya ada yang mencariku, ada yang tahu bahwa aku menghilang.
Semoga, Kak Lintang menemukanku.
***
Langit sudah gelap. Kakiku mati rasa. Sunyi sangat
suasananya. Aku melihat sekelilingku, mencoba mengingat kembali dimana aku.
Disaat aku mulai menyerah dengan keadaan. Secercah cahaya mengenai wajahku. Terdengar
seseorang memanggil namaku dengan kencang. Aku tahu suara siapa itu.
“Kak Lintang?” Kataku dengan suara pelan.
Itu dia.
“Bintang?!” Mata Kak Lintang melebar. Segera
ia mengecek diriku dari atas sampai bawah. Memastikan tidak ada luka yang
parah.
“Pukat, gendong Bintang di belakang.
Hati-hati.” Kata Kak Lintang . Pelan-pelan Kak Pukat mengangkatku. Terlihat
wajah cemas Kak Lintang dan Kak Pukat. Muka mereka pucat, penuh dengan peluh,
dan kusam. Mereka menjemputku dengan rombongan pemuda desa. Selama
perjalanan, hanya ada sunyi, sampai Kak
Lintang lah memecah keheningan.
“Lututmu sakit, Bintang?” Tanya Kak Lintang
yang mendengarku meringis.
“Tentu saja, lihat lututnya, merah begini,
kulitnya robek pula. Banyak baret di betisnya.” Kata Kak Pukat sambil melihat
betisku.
“Sakit, Kak.” Jawabku.
“Pukat, berhenti dulu. Bintang, berikan
kakimu.” Kak Lintang dengan gesitnya membersihkan lututku dan pergelangan
kakiku dengan kain basah, lalu membalutnya.
“Baik, sudah. Ayo jalan lagi. Sudah gelap
langit ini.”
Kami melanjutkan langkah dalam sunyi lagi.
Tidak ada satu pun yang bunyi kecuali suara serangga. Keheningan terus
berlanjut sampah Kak Pukat yang memecahkannya.
“Memangnya, kenapa kau ke Kebon Singa
sendirian, Bintang?” Tanya Kak Pukat.
“Aku hanya mau main keluar.”
“Sampai malam, sendirian?”
“Tidak.... tadi inginnya tidak sampai malam,
tapi,”
“Tapi kenapa, Bintang? Kau tahu, Ibu pingsan
saat mendengar kau hilang. Tidak ada dimana-mana. Kami mencari di rumah
temanmu, di rumah Nek Minar, di sawah, kau tidak ada. Tak tahu kah kau telah
membuat kami semua khawatir?” Kak Pukat mengeratkan gendonganku. Suaranya
hangat. Tidak terlihat ada nada marah sedikitpun. Aku bisa mendengar bahwa ia
benar-benar khawatir.
“Sudah, Pukat. Kau melakukan semua itu pasti
ada alasannya kan, Bintang? Tidak apa-apa jika tidak mau menceritakannya. Tapi
boleh tidak kami mendengarnya?” Suara Kak Lintang lebih hangat lagi.
Ini aneh, mereka seperti bukan Kak Lintang
dan Kak Pukat yang biasanya. Mereka baik, hangat. Bukan jahil atau menyebalkan.
Mereka penuh kasih, penuh sayang.
Kelopak mataku perlahan-lahan merekah, basah.
Butiran air keluar sebutir, kemudian menggelinding di pipiku.
“Maafkan Bintang, Kak. Bintang hanya mau main
keluar sendiri karena kalau di rumah Bintang di suruh-suruh, dijahili, diomeli
terus.” Kataku sambil terisak.
Kak Lintang dan Kak Pukat menoleh kepadaku
tanpa berhenti melangkah. Kak Lintang mengelus kepalaku, “Tidak apa-apa,
Bintang. Kakak juga salah karena selalu marah-marah. Harusnya kakak bisa
berbicara lebih halus dengan kamu.”
“Maaf, ya Bintang. Tapi kamu kan anak bungsu.
Anak paling kecil. Jadi kakak inginnya menggoda kamu terus.” Kata Kak Pukat
sambil tersenyum.
“Ih, Kak Pukat!” Kataku sambil memukul
pundaknya. Kak Pukat hanya tertawa.
Kamipun melanjutkan perjalanan dalam sunyi
lagi. Namun dengan suasana yang berbeda. Suasana yang lebih hangat dari sebelumnya.
Suasana yang hanya dimiliki oleh kakak-adik.
Komentar
Posting Komentar